Tahun lalu setelah lulus dari jenjang Strata 1 saya belum ada niat untuk sampai sejauh ini, dulu sebelum sidang saya mengira hidup ini begitu indah setelah sarjana. Tapi ternyata tidak, hidup ini kenyataannya harus berjuang.
Lalu lalang mencari pekerjaan, ke jobfair, apply lamaran via online/offline semua sudah dikerjakan, ke perusahaan satu ke yang lain interview, test, tapi kenyataannya ridho orangtua saya tidak boleh bekerja di pabrik, saya tidak begitu paham apakah mereka ridho atau tidak, yang jelas setiap saya cerita pengalaman saya ibu terutama yang miris, karena perusahaannya begitu jauh ditempuh kendaraan belum lagi melihat saya begitu lelah untuk mengiyakan interview sampai ke ujung beruk tanggerang.
yah itu cerita pengalaman saya mencari pekerjaan yang nyatanya Indonesia belum cukup menyediakan lahan pekerjaan apalagi menyetarakan kesejahteraan rakyatnya, miris. Maka berbahagialah kalian wirausaha-wan.
Singkat cerita, tahun lalu almarhum bapak saya sudah sering meminta saya untuk segera menikah bahkan sampai terakhir kami bertemu dan masih satu meja makan. Ketika bapak meminta hati kecil kadang ingin mengiyakan karena ini permintaan orangtua, tapi sesekali saya juga ragu. akhirnya sampai bapak meninggal saya masih single, ternyata jalan saya seperti ini.
Saya juga menyampaikan kenapa saya tidak mengiyakan untuk segera menikah, karena plan saya ingin melanjutkan sekolah lagi, kemudian mencari pekerjaan yang layak dan membantu ibu bapak, menyegerakan ibu untuk istirahat banting tulang. iya itu saya sampaikan ke bapak, saya tahu ayah mana yang resah anaknya belum menikah di umur 23 tahun? padahal kakaknya sudah menikah di umur segitu?. ya saya membelokkan kebiasaan keluarga.
Akhirnya bulan desember tahun lalu saya mendaftar di UNS, kenapa di UNS? karena pertimbangan biaya dan saya sudah mengenal kotanya. Kenapa tidak di UI atau UGM? pertama UI mahal, kedua saya sumpek di jakarta, ketiga saya ingin merantau. kenapa tidak di UGM? pertama mahal, kedua saya belum menyiapkan toefl, ketiga di jogja rame.
Januari saya test di UNS, februari pengumumannya keluar, saya kira langsung masuk di semester genap ternyata jurusan saya masuk di semester ganjil, sayapun harus menunggu sampai agustus.
Saya tidak pernah tahu kalau bapak akan meninggalkan kami semua, bulan mei saya terkena musibah. bapak meninggal begitu tiba-tiba. hati saya hancur berkeping, rindu yang tidak lagi kuasa tertahan, menyesal karena belum membahagiakan bapak apalagi tidak mengabulkan permintaan bapak.
sempat ragu, saya berulang kali berfikir untuk mundur melanjutkan langkah saya, saya berfikir untuk kerja saja, tapi sayapun berulang kali berfikir tidak baik melangkah mundur lebih baik melangkah maju, dan ibu mendukung saya, walaupun saya tahu begitu berat ibu melepas saya untuk jauh dari jakarta.
sayapun akhirnya mencoba mendaftar IPB yang super mendadak, H-1 penutupan pendaftaran saya menyiapkan semua persyaratannya, dari proposal penelitian sampai rekomendasi. semua serba mendadak dan sayapun tidak berfikir jauh soal tanggal pengumuman yang mepet jadwal pembayaran terakhir di UNS.
bulan Agustus keluarga kami diberi ujian kembali oleh Allah, Kakak saya nomer 2 melahirkan dan anaknya harus dirawat di NICU karena ada virus. ketika itu pas jadwal saya harus membayar UNS dan menunggu pengumuman IPB.
saya ingat itu tanggal 15 Agustus, saya masih di sekolah mengajar anak-anak. saya resah sekali, kalau IPB tidak diterima saya harus pergi ke solo dalam keadaan di rumah sedang riweh dan resah pula. Setelah pulang dari sekolah saya langsung membuka web IPB ternyata pengumumannya belum keluar, mau nangis saya, saya tidaak tahu harus berbuat apa, karena saya tahu kalau mengadu ke ibu hanya menjadi beban lagi
sayapun mengambil sikap, lillahita'ala. saya langsung ke bank untuk membayar karena sudah jam stengah 4 sore, sampai bank saya mau nangis karena bank sudah tutup, alhamdulillah diberi kesempatan oleh teller untuk ke atm mengambil duit cash dan ditunggu sampai jam stengah 5.
sorenya saya langsung packing. sebelum stasiun saya ke rumah sakit pamit ibu, mau nangis rasanya. karena jakarta-solo itu begitu jauh, saya juga tidak punya siapa-siapa di solo, saya sendiri. apalagi saya pergi dalam keadaan yang tidak menyenangkan.
sampai di solo saya sempat ragu apakah benar jalan yang saya benar, apakah saya akan kuat, mengurus semuanya sendiri tanpa didampingi siapapun. ternyata Allah yang menguatkan. dari mencari kos-kosan, membersihkan kamar, sampai urusan mengirim motor dilakukan sendiri. kadang terlintas penyeselan "coba ada suami pasti ditemenin suami" kemudian netes air matanya karena ingat bapak
yang dipikirkan adalah ibu, karena selama 5 tahun tinggal satu atap sama ibu, dan kami selalu berbagi cerita, kadang saya nangis setiap solat karena ingat bagaimana ibu banting tulang di jakarta dan kelelahan. ibu masih harus bersabar menunggu saya menjadi orang. kadangpun sedih karena ibu memendam semua masalah sendiri, dulu kami sering berbagi masalah saling melegakan, tapi sekarang kami berjauhan.
Masing-masing punya jalan pendakian yang berbeda dalam menggapai cita, tidak ada yang mudah tapi kita punya Allah yang akan memudahkan dan menguatkan.
Semoga perjalanan 2 tahun kedepan lancar. amiin, mohon doanya teman-teman