Jogja dan Kenangan Itu Dulu, Kini Tidak Lagi Asik Akibat Perubahan Iklim
Jogja memang sudah tidak asik lagi, beberapa tahun terakhir ini sering mengalami cuaca ekstrim. Siang hari tengah bolong panas terik, eh tetiba bisa hujan lebat disertai angin. Bahkan pengakuan dari beberapa sopir transportasi online mengeluh yang sama “Duh, kalau hujan saya sekarang milih mlipir mbak, takut kena pohon atau reklame tumbang”.
Kota Yogyakarta bukan hanya istimewa karena hingga kini masih berbentuk kerajaan, tapi selalu istimewa bagi yang pernah singgah cukup lama. Bahkan banyak yang merasakan “Susah move on dari Jogja”. Tidak heran kan, banyak alumni mahasiswa akhirnya memilih tinggal di Jogja meskipun gajinya tidak mencapai ½ UMR Jakarta.
Jujur saja sejak lulus Sekolah Dasar tahun 2004, saya bermimpi untuk kembali ke Jogja. Kota pelajar ini berisi penuh kenangan masa kecil yang begitu manis. Bahkan saya masih bisa mencium aroma jalan menuju sekolah dari asrama pondok. Saya pun masih teringat ketika Merapi meletus, melihat wedus gembel turun seperti salju, hingga merasakan dinginnya suhu daerah Kaliurang kala itu di tahun 2004.
Namun sejak kembali ke Jogja setelah menikah di tahun 2021, mulai merasakan keluhan “Jogja sudah tidak asik, sumpek macet, pwanaaaasnya sama kaya Jakarta lagi!”. Ada yang ingin punya rumah di Jogja buat hari tua? Duh, pikir ulang deh! Alih fungsi lahan Kota Jogja ini dari tahun ke tahun udah ekstrim banget.
Cuaca Ekstrim di Jogja, Pertanda Dampak Perubahan Iklim
Tidak hanya dalam 3 bulan terakhir di tahun 2022 Kota Jogja mengalami cuaca ekstrim seperti curah hujan tinggi. Dilansir dari harianjogja, Kepala Stasiun Klimatologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jogja menyampaikan bahwa dalam kurun 2007-2020, untuk wilayah perkotaan di DIY menunjukkan tren kenaikan temperatur 0,39 derajat celcius per 10 tahun.
Tren kenaikan temperatur juga terjadi di sekitar wilayah lereng Gunung Merapi 0,22 derajat celcius per 10 tahun.
Ketika temperatur meningkat, akan menyebabkan suhu laut menghangat dan menghasilkan air menguap semakin banyak. Akibatnya uap air tersebut bisa berkumpul dan menyebar lalu ketika tertiup angin akan menyebabkan cuaca ekstrim.
Bestie perlu mencatat ya, adanya perubahan pada suhu, curah hujan, pola angin dan berbagai efek lain secara drastis merupakan terjadinya perubahan iklim.
Tidak heran ya akhir-akhir ini warga Jogja sering mengeluh suhu yang panas di siang hari hingga malam, atau tiba-tiba cuaca berubah dari panas terik menjadi mendung gelap gulita. Awalnya ada janji bukber sekaligus reunian bisa buyar karena cuaca yang tidak lagi bisa diprediksi.
Dampak perubahan iklim tidak hanya dirasakan dari cuaca ekstrim yang tidak menentu di kota Jogja saja, ternyata beberapa wilayah Jogja sekitar juga mengalami dampak berikut ini.
Banyak Petani Gagal Panen
Dulu petani mengandalkan ilmu titen dan pranata untuk menentukan waktu mulai tanam dan panen. Adanya perubahan iklim, petani tidak bisa lagi mengandalkan ilmu tersebut. Akibatnya banyak petani yang mengalami gagal panen karena dampak cuaca ekstrim seperti badai, banjir, kekeringan hingga puting beliung.
Kekurangan Air Bersih
Meskipun terjadi curah hujan tinggi di beberapa wilayah Yogyakarta, dampak dari perubahan iklim menyebabkan Kabupaten Gunungkidul mengalami kekeringan berkepanjangan tiap tahunnya.
Bencana Banjir dan Longor
Siapa bilang Jogja bebas banjir? Curah hujan tinggi bisa menyebabkan volume air sungai meningkat. Seperti yang kerap terjadi di daerah bantaran sungai Celeng, Cebolan, Padukuhan Deresan, Imogiri, Bantul mengalami tanah longsor dan banjir.
Kalau dilihat dari data bencana di Indonesia tahun 2009 - 2019, bencana hidrometeorologi paling mendominasi terkait langsung dengan perubahan iklim.
Siapa sih penyebab utama terjadinya perubahan iklim?
Aktivitas Manusia dan Perubahan Iklim
Dilansir dari ditjenppi.menlhk.go.id, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjabarkan perubahan iklim sebagai gejala yang disebabkan baik secara langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia.
Secara alamiah, aktivitas manusia menghasilkan Gas Rumah Kaca (GRK) seperti Karbondioksida (CO2), Nitrogen dioksida (N2O), Metana (CH4), dan gas lainnya. Namun sejak teknologi industri semakin maju, berbanding lurus juga dengan konsumsi energi dan Gas Rumah Kaca yang dihasilkan.
Gas Rumah Kaca sebenarnya dibutuhkan untuk menjaga suhu bumi stabil antara siang dan malam. Namun jika berlebihan, akan meningkatkan suhu bumi yang ditandai dengan mencairnya es di kutub, naiknya permukaan air laut, rusaknya ekosistem, dan perubahan iklim.
Sadar atau tidak? Setiap aktivitas sehari-hari, kita turut menyumbang gas emisi rumah kaca. Contoh saja dari sampah rumah tangga yang dihasilkan setiap harinya, jika tidak dikelola dengan baik dan hanya dibuang ke TPA begitu saja akan meningkatkan gas Metana (CH4).
Belum lagi dari gas yang dihasilkan kendaraan bermotor, dilansir dari iesr.co.id sektor transportasi menjadi penyumbang emisi Gas Rumah Kaca terbesar kedua di Indonesia. Bahkan untuk menggunakan transportasi membutuhkan bahan bakar fosil yang juga turut menjadi penyumbang terbesar emisi Gas Rumah Kaca.
Apalagi bestie? Untuk memenuhi kebutuhan pangan keseharian kita? Sektor pertanian dan peternakan juga turun menghasilkan gas Metana dan Nitro Oksida. Setidaknya ada sekitar 1,2 miliar ternak sapi di dunia, seluruhnya ini turut meningkatkan jumlah Gas Rumah Kaca.
Tidak ketinggalan juga, saking panasnya udara Jogja bahkan dunia ini, sungguh tidak bisa meninggalkan kesegaran es teh yang menggoda dan kesejukan ruangan ber-AC.
Kabar buruknya menggunakan AC dan kulkas yang masih terdapat gas CFC sebagai alat pendingin ini bisa menghancurkan lapisan ozon.
Lalu, apa ya yang bisa kita lakukan untuk menekan laju peningkatan suhu bumi? Berdasarkan IPCC, hingga tahun 2030 kita masih bisa menekan kenaikan suhu hingga 1,5 derajat celcius.
Eits, jangan lupa juga ya ada kesepakatan Paris Agreement untuk melakukan upaya konsisten menghindari perubahan iklim dengan membatasi pemanasan global di bawah 2 derajat celcius dan membatasi suhu hingga 1,5 derajat celcius.
Bisa kok bisa! #UntukmuBumiku apa sih yang gak bisa? Dengan cara sederhana saja mulai dari rumah, lakukan mitigasi perubahan iklim.
Mitigasi Perubahan Iklim dengan Cara Sederhana
Upaya mitigasi perubahan iklim sebenarnya sih sudah banyak diserukan oleh berbagai lapisan, mulai dari Organisasi tingkat dunia, Pemerintah, hingga masyarakat. Berbagai peraturan juga sudah dikeluarkan Pemerintah sebagai upaya mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim.
Contoh saja Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Sampah, Perlindungan Hutan, Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, dan masih banyak lagi lho! Rasa-rasanya sih sudah super lengkap, tapi kok kayaknya masih stuck tidak ada perubahan ya?
Percuma saja Pemerintah sudah memberikan fasilitas melalui kebijakan-kebijakan, tapi partisipasi masyarakat belum banyak dilakukan. Berdasarkan salah satu penelitian mengenai pengelolaan sampah rumah tangga misalnya, ternyata terbukti adanya pengaruh sikap terhadap perilaku dalam mengelola sampah rumah tangga.
Meskipun ya, sudah tersedia fasilitas dari Pemerintah menyediakan tempat sampah terpilah tapi kalau pengetahuan, kesadaran, hingga perilaku dari kita belum melakukan pengelolaan sampah rumah tangga dengan baik, tentunya tidak bisa tercapai upaya mitigasi perubahan iklim yang terus diserukan ini.
So, mulai dari hal kecil dan sederhana saja yuk kita ubah kesadaran diri untuk melakukan mitigasi perubahan iklim. Apa saja sih yang bisa dilakukan?
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
Kenapa mulai dari sampah?
Bestie, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2021, Indonesia menghasilkan timbunan sampah 26,67 juta ton. Dari total timbunan sampah tersebut 35,87% masih belum terkelola, dan komposisi sampah mayoritas adalah jenis sisa makanan.
Sebenarnya ada banyak yang bisa dilakukan dalam mengelola sampah rumah tangga, mulai dari cara paling mudah hingga ribet. Cara paling mudah dalam mengelola sampah rumah tangga melalui pemanfaatan kembali, pembatasan dan pendauran ulang. Apa saja contohnya?
Mindful Eating
Seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya, kalau komposisi sampah mayoritas adalah jenis sisa makanan. Maka, untuk mengurangi jumlah sampah sisa makanan bisa saja dilakukan dengan cara selalu menghabiskan makanan.
Kebiasaan menghabiskan makanan di rumah ini disiplin banget oleh suami, bahkan setiap harinya harus dipastikan nasi dalam magic com sudah habis. Suami juga menyarankan untuk masak lauk pauk dan sayur yang bisa dihabiskan dalam satu waktu, tanpa harus dihangatkan untuk besok yang bisa berujung makanan terbuang.
Akhirnya, saya juga terbiasa beli kebutuhan lauk seperti ayam hanya 4 potong saja untuk kebutuhan 2 sampai 3 kali makan. Kebutuhan sayuran juga biasanya hanya dibeli ketika memang ingin masak, lebih memilih tidak menyimpan untuk beberapa hari karena takut nanti terbuang begitu saja.
Selalu Membawa Tas Belanja
Selain sisa makanan, sampah plastik juga menjadi masalah pengelolaan sampah yang serius. Sebab sampah plastik menjadi tumpukan sampah yang sulit terurai dan dapat mencemari lingkungan sekitar.
Data KLKH menunjukkan, sampah plastik pada tahun 2021 mengalami kenaikan 11,6 juta ton. Tidak heran ya, sebab memang dalam kondisi pandemi, frekuensi belanja online naik hingga 10 kali per bulan, dan 96% paket belanja online itu dibungkus dengan plastik.
Hal sederhana yang bisa kita lakukan adalah dengan siap sedia tas belanja dimanapun dan kapan pun. Saya dan suami akhirnya terbiasa menyimpan tas belanja di bagasi motor, tas traveling, dan koper. Kalau kamu sudah sampai mana upaya mengurangi sampah plastik?
Pilah Pilih Sampah
Cara mudah terbiasa pilah pilih sampah di rumah sebenarnya cukup mudah. Hal paling kecil saja, memisahkan dan mengumpulkan sampah botol plastik yang nantinya bisa diserahkan ke pemulung atau bank sampah terdekat.
Bagi pecinta skincare atau make up seperti saya, bisa juga melakukan pilah pilih sampah dengan mengumpulkan botol bekas kemasan lalu kirimkan ke pengelolaan sampah yang saat ini mudah ditemukan di jejaring sosial media.
Pilah pilih sampah ini sebenarnya bisa memudahkan pengangkut sampah untuk mengelola timbunan sampah rumah tangga. Jika sampah anorganik dan organik dibiarkan terkumpul begitu saja, pengelolaan sampah menjadi tidak maksimal.
Fokus dari pengelolaan sampah rumah tangga adalah bagaimana caranya mengurangi timbunan sampah di TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) yang berpotensi terjadi bencana. So, sudah sejauh mana kamu mengelola sampah yang dihasilkan setiap harinya?
Hemat Energi
Berdasarkan data Climate Watch, kontributor terbesar emisi Gas Rumah Kaca dari sektor energi. Dalam 5 tahun terakhir 2015 - 2020, emisi yang dihasilkan dari sektor ketenagalistrikan di Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan.
Lalu berdasarkan laporan IPCC, gaya hidup manusia memiliki kontribusi sangat signifikan dengan pemanasan global. Pasalnya pola hidup kita setiap harinya menentukan jumlah barang yang dikonsumsi, jumlah listrik yang digunakan, hingga macam alat transportasi yang digunakan.
Semakin tinggi barang yang dikonsumsi tentunya akan meningkatkan kebutuhan energi, khususnya barang yang membutuhkan bantuan listrik. Akibatnya permintaan produksi listrik di Indonesia belum bisa ditekan secara maksimal. Sebab Indonesia masih mengandalkan pembangkit bertenaga bahan bakar fosil seperti diesel dan batu bara, tentunya keduanya menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca yang cukup besar.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca dari sektor energi?
Memanfaatkan Elektronik Secara Terbatas
Ragam teknologi yang memudahkan kehidupan sehari-hari ini mudah sekali didapatkan. Sebut saja muncul berbagai jenis elektronik pembersih lantai, air fryer, hair dryer, alat gaming, dan masih banyak lagi.
Padahal kita bisa membantu penurunan emisi Indonesia dengan cara merubah gaya hidup, se-sederhana menggunakan elektronik secara terbatas. Contoh saja, biasanya aku memilih untuk setrika baju formal saja, kaos harian dan pakaian dalam lebih memilih dilipat saja.
Selain itu, perhatikan juga penggunaan AC di rumah. Hal kecil yang selalu aku terapkan sehari-hari hanya menyalakan AC start jam 10 malam hingga jam 4 subuh saja. Selebihnya hanya menggunakan kipas angin, dan memanfaatkan udara dari ventilasi di rumah.
Efisiensi Penggunaan Lampu di Rumah
Belum lagi penggunaan lampu untuk kebutuhan rumah tangga, yang ternyata lampu berdaya 10 watt yang dinyalakan selama 1 jam bisa menghasilkan emisi karbon dioksida sebesar 9,51g.
Kalau dari pengalamanku, penggunaan lampu dengan daya watt lebih besar bisa menyedot kebutuhan listrik yang besar juga. Dulu ketika awal pindah rumah, kami memilih mengganti semua lampu dengan daya watt yang lebih rendah dan memilih pakai lampu LED.
Pasalnya lampu LED ternyata bisa menghemat pemakaian listrik di rumah dibandingkan lampu pijar. Pemakaian lampu LED ini bisa menghemat 20 hingga lebih dari 50 persen biaya energi.
Pemakaian lampu di rumah ini betul-betul diperhatikan sama suami, setiap pagi selesai sholat subuh pasti harus mematikan seisi rumah terlebih dahulu. Begitu juga ketika malam hari, hanya memanfaatkan lampu depan rumah saja yang memang dibutuhkan.
Memanfaatkan Transportasi Umum
Sektor transportasi juga merupakan sumber terbesar Gas Rumah Kaca. Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat konsumsi bahan bakar minyak naik 10 persen setiap tahunnya.
Tidak heran, permintaan produksi bahan bakar minyak juga terus meningkat seiring dengan emisi dan polusi yang dihasilkan semakin besar juga.
Maka, hal sederhana yang bisa kita lakukan adalah memanfaatkan transportasi umum untuk kebutuhan sehari-hari. Contoh saja, tiap 2 minggu sekali saya dan suami diwajibkan pulang ke rumah mertua di daerah Klaten. Bisa saja naik kendaraan pribadi karena bisa lebih cepat, tapi kami lebih memilih memanfaatkan commuter line Jogja-Solo, selain lebih murah juga bisa membantu mengurangi emisi GRK dari sektor transportasi.
Bagaimana dengan Kamu?
Dampak perubahan iklim seperti cuaca ekstrim sebenarnya tidak hanya dirasakan di Jogja saja, pasti kamu juga merasakan hal yang sama. Bahkan bencana hidrometeorologi seperti puting beliung, banjir, atau tanah longsor pernah terjadi di sekitar kalian.
Perubahan iklim terjadi karena meningkatnya suhu bumi akibat emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Cara sederhana yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak perubahan iklim adalah melakukan mitigasi dan adaptasi, agar menekan produksi emisi GRK.
Kita sebagai penyumbang utama emisi GRK, harus menentukan sikap dan mengubah perilaku gaya hidup sehari-hari. Bagaimana dengan kamu #TeamUpforImpact ? Apa saja yang sudah dilakukan sebagai upaya mengurangi dampak perubahan iklim?
__
Sumber
Gambar
Desain oleh Canva
Instagram @infoBMKG
Bahan tulisan
https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/
https://iesr.or.id/pustaka/potensi-penurunan-emisi-indonesia-melalui-perubahan-gaya-hidup-individu
https://www.kompas.id/baca/riset/2021/11/25/pembangkit-energi-kunci-reduksi-emisi-grk-bagian-satu
http://pojokiklim.menlhk.go.id/read/pengelolaan-sampah-kurangi-emisi-gas-rumah-kaca
https://tirto.id/penyebab-perubahan-iklim-fakta-dan-solusinya-emYU
https://www.arifsulfiantono.com/2021/09/yogya-dan-aksi-perubahan-iklim.html