umur bapak yang k-60 ini juga tepat 10 tahun bapak berada di kedung paruk, kami sekeluarga terpisah.
10 tahun yang lalu tahun 2004, saya ingat betuk ketika berada di pandanaran saya kelas 6SD. Ketika itu siang hari saya dari ujung jalan diteriaki oleh pengurus laki-laki memanggil saya kemudian mengabarkan kalau ayah saya meninggal. Saya kaget tapi tidak percaya, ternyata benar yang meninggal bukan bapak, melainkan pakde saya, pakde said penerus ke-dua.
saat itu ketika masih polos saya tidak terfikirkan kalau meninggalnya pakde said akan merubah hidup keluarga saya. Saya tidak berfikir karna polos akan ketidaktahuan, kalau bapak saya harus meneruskan sebagai penerus ke-tiga.
bapak 8 bersaudara, 5 perempuan dan 3 laki-laki. Bapak dan 2 saudara laki-lakinya adalah penerus mbah Malik. Mbah malik adalah kakek bapak atau buyut saya. Beliau adalah pendiri pesantren di kedung paruk, tempat bapak saya meneruskan saat ini.
Mbah Malik tidak memiliki anak laki-laki yang umurnya panjang, satu-satunya adalah anak perempuan yaitu mbah hiyah, begitu saya memanggilnya. Mbah hiyah lah yang menurunkan banyak garis nasab keturunan mbah Malik yaitu 8 Bersaudara, 3 laki-laki sebagai penerusnya. Pertama almarhum pakde Dul atau dikenal sebagai kyai Dul, kedua adalah pakde said atau dikenal sebagai kyai said, yang ketiga adalah bapak saya atau dikenal sebagai kyai Muh.
Bapak berbeda dengan saudara laki-lakinya. Bapak adalah perantau semenjak muda, ikut merantau ke Jakarta tinggal bersama kakak perempuannya, sampai akhirnya menikah dan menetap di Jakarta. Namun takdir memang sudah digariskan, bapak tidak bisa menetap di Jakarta karena harus meneruskan amanah yang sudah dibangun oleh mbah Malik.
Cerita bapak, dulu ketika bapak dipanggil oleh Habib Luthfi, bapak menolak dengan halus untuk meneruskan perjuangan si mbah, karena bapak memang memiliki yayasan di Jakarta dan banyak murid di Jakarta istilahnya bapak tetap bisa meneruskan perjuangan si mbah namun di Jakarta tidak perlu meneruskan di kedung paruk. Tapi Habib Luthfi memegang penuh tanggung jawab amanah si mbah, bahwa garis keturunannya lah yang harus meneruskan, dan garis keturunan yang masih ada adalah bapak satu-satunya cucu laki-laki, keturunan kedua.
Mau tidak mau, kami sekeluarga harus mengikhlaskan untuk terpisah. Bapak mulai menetap di Jakarta sedangkan ibu bolak-balik Jakarta-Purwokerto. Kenapa ibu tidak ikut pindah dan menetap di Purwokerto bersama bapak?. Ibu tetap di Jakarta karena harus tetap mencari nafkah untuk ke-empat anaknya yang masih sekolah. 10 tahun yang lalu, kakak saya yang kedua masih kuliah, yang ketiga masuk SMA, saya masuk SMP, dan adik saya kelas 3 SD.
Terbayang bukan? saya dan ke-empat saudara yang masih panjang menempuh pendidikan harus ditanggung oleh ibu?. Ya, dengan kepindahan bapak otomatis bapak tidak bisa bekerja lagi, sepenuhnya menjalani amanah pagi-malam, Senin-Minggu. Apalagi tanggung jawabnya menjadi dua di Jakarta dan Purwokerto.
berat? bapak ibulah yang sangat merasa. Anak-anaknya hanya bisa melihat. Ingat betul ketika pindah ke rumah kedung paruk, peninggalan mbah Malik, rumah yang tua, jalanan yang gelap dari ujung jalan, semua menjadi kaget. termasuk saya kala itu enggan untuk tinggal di rumah itu, karena melihat kamar mandi lama yang berlumut, bak mandi berlumut, dinding penuh sarang laba dan kusam, rumah yang lama dan tidak terurus.
Namun perlahan bapak mulai merawat rumah, merenovasi perlahan, agar kami sekeluarga nyaman tinggal di rumah itu. ingat betul ketika awal tinggal di rumah jendela diganti, pintu diganti, cat tembok di cat ulang warna warni, kamar mandi diganti berubin.
Tidak banyak yang tau perjuangan bapak dan ibu untuk mengembangkan amanah mbah malik, bapak mencatat waktu pertama kali menduduki rumah ini, ada banyak impian dalam mengembangkan amanah. termasuk salah satunya membuat fasilitas pendidikan. Yang sudah terwujud adalah Yayasan Bani Malik.
Yayasan Bani Malik yang dirintis oleh bapak ibu, adalah RA bani Malik, Paud Bani Malik, TPQ bani Malik. Paud Bani Malik adalah sejarah yang benar-benar dirintis oleh bapak ibu. Ingat sekali dulu sewaktu SMP saya ikut membantu menghias ruangan, membuat tulisan. Dari yang gedung sekolahan bekas kamar santri diubah menjadi ruang kelas yang sederhana, sampai menjadi gedung sekolahan yang luas dan layak. Renovasi gedung sekolah ini beriringan pula berdirinya RA bani Malik, beriringan pula dengan murid yang banyak tiap tahunnya.
selain berkembangnya fasilitas pendidikan, murid-murid bapak juga berkembang, dimana awalnya bapak sebagai mursyid pengganti belum memiliki murid, atau muridnya adalah murid dari simbah dan dua kakaknya otomatis muridnya adalah generasi sesepuh. Beriringnya waktu murid bapak berkembang, semua merata ada sesepuh, dan generasi mudanya. Kalau dulu saya melihat gerombolan bapak-bapak dan sesepuh, sekarang sayapun melihat gerombolan mas-mas.
Santri yang tinggalpun jauh berbeda dari awal bapak disini. Dulu santri yang tinggal adalah santri yang tidak jelas, dan juga hanya sedikit kurang dari 5. Saat ini santri yang tinggal ada 10 lebih dan hampir seluruhnya adalah mahasiswa dan dari latar belakang yang berbeda semuanya. Semua santri dianggap anak sendiri oleh bapak, karena sedikitnya santri otomatis santri-santri ini dianggap anak sendiri, dan saya melihat mereka juga seperti menganggap bapak adalah ayahnya sendiri.
10 tahun sudah menjalankan amanah, keberkahan simbah Malik dapat dirasakan sampai sekarang dan sampai kapanpun, ilmu yang dimiliki simbah, amalan sholeh simbah Malik ketika hidup, apapun yang dimiliki beliau masih bisa dirasakan oleh darah keturunannya sampai sekarang.
10 tahun juga saya merasakan mengiringi perjalanan bapak dan ibu, menemani disetiap acara besar seperti haul mbah Malik, dan haul siti Fatimah. Entah tahun depan saya masih bisa menemani atau tidak, karena ini adalah tahun terakhir saya menjadi mahasiswa, tahun depan insyaallah akan bekerja, entah saya masih bisa merelakan waktu saya atau tidak.
Bagiku Ibu adalah wanita yang sempurna. Menemani bapak menjalankan amanahnya selama 10 tahun ini tidaklah mudah, bolak balik Jakarta-Purwokerto, bukan cuma uang yang terkuras tapi juga tenaga, lelah tapi ibu menjalani semuanya dengan baik, kewajibannya sebagai istri, ibu, dan pengganti bapak dirangkap menjadi satu. Terlebih ibuku bukan cuma anak-anaknya yang memiliki, tapi murid-muridnya juga. Titipan Allah yang begitu besar adalah amalan baik ibu di dunia.
walaupun badai sempat menerjang, ibuku tetap tegar, walaupun karang melukai ibuku tetap memaafkan, ibuku tetap sabar dan bersandar kepadaNya, semua karena Allah. Tidaklah bapak bisa kuat tanpa ada Ibuku. Tidaklah Ibuku kuat tanpa ada anak-anaknya.
Di Usia Bapak ke-60, aku hanya berdoa meminta Allah untuk memanjangkan umur bapak dan ibu dan memberikan kesehatan kepada mereka, memberi waktu untuk bapak dan ibu, agar bisa melihat anak-anaknya mandiri dan meneruskan perjuangan bapak dan ibu, dan satu yang terus saya panjatkan yaitu jodoh saya disegerakan agar bapak dan ibu masih bisa melihat anaknya bahagia bersama suaminya, melepaskan tanggung jawabnya secara langsung kepada menantunya.
Satu langkah yang sedang akan diperjuangkan, membangun Madrasah Ibtida'iyah. Semoga bapak dan ibu diberi umur yang panjang, agar Madrasah yang dicita-citakan terwujud sebelum kembali kepadaNya.
Kelak mudah-mudahan setelah Madrasah Ibtida'iyah, akan berdiri juga Tsanawiyah, dan Aliyah. Cita-cita ibu dan bapak dengan segala keterbatasannya.
Mudah-mudahan apa yang sudah dilakukan bapak dan ibu dan apa yang sudah diajarkan mereka bisa saya lakukan dikemudian hari, bisa menjadi contoh untuk anak-anaknya khususnya saya pribadi dan suami (kelak). Mudah-mudahan calon suami yang masih disimpan Allah akan mengajak saya berjuang seperti apa yang dilakukan bapak dan ibu. Semoga, Amin
Catatan ini adalah catatan kecil, untuk sekedar mengetahui keadaan yang tidak diketahui orang lain, agar tidak seenaknya mendzolimi keluarga saya, agar tidak seenaknya mendzolimi ibu saya khususnya. Agar mereka tahu bahwa yang dilakukan bapak ibu bukan semata mengejar dunia, bukan semata-mata ingin memiliki, apa yang sudah dibangun dan dirintis semata-mata untuk berjuang dijalanNya, untuk memanfaatkan sebaik-baiknya apa yang sudah difasilitasi simbah, walaupun simbah tidak pernah bertutur langsung.
Terimakasih bapak dan ibu, telah menjadi orangtua terbaik untuk kami anak-anaknya, semoga Allah selalu menjaga bapak dan ibu dimanapun berada.
Salam,
Farhati Mardhiyah
Putri Ke-empat KH.Drs. Muhammad. Ilyas Noor