Subuh kala itu, tidak ada firasat tidak enak, tidak pula terasa lemas
bahkan sebelum subuh saya dan ibu masih sempat makan bersama dengan niat hendak puasa.
Kemudian setelah shalat terdengar teriakan ibu dari bawah memanggil namaku
"Ati..... Ati... Tolongin ibu, Atiiii"
Sayapun belum memiliki firasat apapun, kiranya ibu teriak karna mencium bau gas biasanya. Tadinya saya lambat geraknya, tapi teriakan ibu yang kedua membuat saya kaget.
"Ati... Bapak tii. Atii...."
Seketika kaki saya lemas, jantung saya berdegup kencang, tangan saya gemetar berlari menuruni anak tangga.
"kenapa mam?"
"Bapak udah ga ada tii"
Seketika juga saya teriak, menangis, lemas, kalut. Saya teriak dan menangis lupa punya Allah, lupa. yang saya ingat bapak, bapak sore sebelumnya menelpon ibu dan saya tidak sengaja mendengar perbincangan bapak dan ibu.
yaah, waktu kehilangan itu datang.
yang saya bayangkan dari dulu, dari semenjak saya kecil. Saya bayangkan rasa kehilangan bapak, hari itu datang takdirnya kepada saya dan keluarga.
Bapak kenapa pergi begitu cepat? kenapa pergi tidak menunggu kami untuk sampai di rumah mendampingi bapak? begitu sayangkah bapak terhadap kami sehingga bapak enggan melihat kami begitu sedih melepas bapak.
Pagi itu saya dan ibu berserta kedua kakak langsung menuju purwokerto, sepanjang jalan kami menangis, mengingat seminggu yang lalu bapak lama di Jakarta, ternyata itu kala terkahir kami bersama bapak.
Kami pulang pak, kami pulang, kemana bapak? biasanya bapak menyapa kami di depan pintu, mencium kedua pipi kami dan memeluk kami ketika kami sampai di rumah. Bapak kemana?
Di jalan pertigaan dekat rumah sudah ramai baju berwarna putih, bersarung, dan berpeci, seperti acara pengajian besar tahunan kami, tapi ada satu berbeda, ada bendera putih bertuliskan Innalillahi Wa inna ilaihi rojiun.
Ya rabb benarkah ini? benarkan aku tidak akan bisa mencium bapak lagi?.
Mobil kami berjalan pelan karena terlalu banyaknya jamaah yang takziah, kaki kami lemas, mata kami terlalu basah, ibu sudah mengingatkan kami tidak boleh meronta apalagi meratapi.
Kaki ini lemas berjalan menuju rumah, terlihat dari jauh keranda berwarna hijau, bapak sudah rapih dimandikan dan disucikan, maafkan kami terlalu jauh sehingga tidak bisa merawat bapak,
kami pulang pak, kami pulaang tapi bapak sudah terbaring kaku, hidung bapak sudah dikapasi, badan bapak berlumur kapur barus, bapak senyum tapi tidak lagi menyapa kami.
tidak kuat rasanya memandang bapak, kalut rasanya, tidak boleh lagi mencium bapak karena tidak bisa menahan air mata.
itu terakhir kalinya kami memandang wajah bapak.
Hari-hari rasanya terlalu sulit, tapi harus kami hadapi. Rasanya rindu sekali minum teh bersama bapak di pagi dan sore hari. Rindu sekali dibangunkan subuh oleh bapak, rindu sekali satu meja bersama bapak, rindu sekali gelendotan di badan bapak yang kecil, rindu menggandeng tangan bapak, rindu sekali beh, kami rindu sekali.
Kini kami hanya bisa menatap rumah terakhir bapak setiap pagi, sambil mengirimkan doa dan muroja'ah. kami masih bisa membuat bahagia bapak dengan mengirimkan doa.
Penyesalan itu datang ketika sudah tidak ada lagi bapak disisi kami, menyesal sekali kami seringkali begitu malas menanggapi sms sapaan bapak, lia uti adi ati syifa kemudian bapak isi wejangan bapak, sampai bapak ganti hape dan kami terhubungkan oleh whatsapp. menyesal sekali kami jarang menjenguk bapak di rumah, kami terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, menyesal sekali kami belum bisa menjadi anak sholeh dan sholehah, menyesal sekali kadang kami terlalu kesal jika bapak mengeluh sudah tua, menyesal sekali kadang kami terlalu kesal jika bapak kurang perhatian terhadap kami.
tapi ternyata, bapak begitu mencintai kami. Seringkali bapak menyampaikan "Jangan sampai bapak sampe pake kursi roda ngerepotin anak, jangan sampai bapak dirawat dirumahsakit ngerepotin anak". Allah mengabulkan doa bapak, bapak pergi dengan begitu mudahnya, tanpa tersiksa di kursi roda, tanpa merasa sakit parah. bapak pergi dalam keadaan sehat dan segar.
Jika aku punya satu waktu kesempatan, aku ingin bertemu bapak, sehari bersama bapak. akan kupeluk bapak, ku gandeng tangannya, ku bawa bapak jalan-jalan belikan beliau dompet yang ia mau, belikan kemeja yang ia suka, belikan tas yang ia suka, belikan jus kesukaan bapak, sholat berjamaah bersama bapak, ngaji bersama bapak. jika masih ada kesempatan, tapi tidak mungkin.
kami harus kuat walau begitu merasa begitu dalam kehilangan bapak, kami harus tetap berjalan ke depan berjuang untuk kehidupan selanjutnya, kami harus meneruskan perjuangan bapak seperti yang bapak pesan.
Bapak, maafkan aku anakmu yang belum menuntaskan keinginan bapak untuk segera menikah, andai aku tahu bapak secepat ini akan pergi mungkin aku akan mengkabulkan keinginan bapak. Maafkan anakmu juga belum bisa membuat bahagia bapak semasa bapak hidup di dunia. Maafkan anakmu yang seringkali kesal. Maafkan anakmu ini pak.
Anakmu ini berjanji tidak akan pernah putus mendoakanmu pak, ridhoi anakmu ini agar segera mendapat pasangan sesuai keinginan bapak dan ibu, ridhoi anakmu ini agar semakin sholihah, jangan putus mendoakan anakmu pak.
Rindu sekali rasanya,
Terimakasih sudah menjadi Bapak yang terbaik, Selamat jalan Bapak. Sampai bertemu di Surga, kelak jemput kami anak-anakmu. Kami akan berkumpul kembali di surga, Amin.
Ku persolehkan diri untukmu, Bapak.
We love you,
Alm. KH. Drs. Muhammad. Ilyas Noor
Love,
Farhati Mardhiyah