Kebutuhan utama untuk bertahan hidup di era teknologi modern ini bukan hanya sandang pangan papan saja. Tidak dipungkiri, kebutuhan energi listrik juga membuat masyarakat sangat ketergantungan, apalagi di masa pandemi dua tahun belakangan ini.
Tahun 2013 lalu saya sempat berkunjung ke Taman Nasional Baluran. Ya, kala itu Baluran belum ramai, tempat penginapannya masih asri. Saya sempat merasakan menginap di Pantai Bama yang hanya bisa menikmati aliran listrik dari jam 6 sore hingga 11 malam saja.
Ternyata aliran listrik di penginapan menggunakan genset, kapasitasnya hanya cukup dipakai beberapa jam saja. Padahal kita tahu kan, daerah Baluran itu dekat loh dengan PLTU Paiton. Mengapa ya saat itu tidak bisa mendapatkan aliran listrik?
Meskipun dekat dengan PLTU Paiton yang merupakan pembangkit listrik terbesar di Indonesia dengan kapasitas produksi sebesar 4600 MegaWatt, nyatanya belum bisa menerangi daerah Wisata yang sangat strategis.
Saat itu saya dan keempat teman sempat berkhayal “andai aja di Pantai Bama ini pakai sumber listrik yang lain, misalnya memanfaatkan sinar matahari gitu? Kan ini daerah pantai pasti potensi energi surya cukup besar”.
Yups, kalau kalian belum tahu sumber listrik bisa kita peroleh bukan hanya mengandalkan aliran dari PLN saja. Bukan hanya dari kabel-kabel yang terhubung dari tiang listrik, tapi ada sumber listrik lain.
Dampak Dari Ketergantungan Batubara
Tidak dipungkiri, kebutuhan listrik sangat penting untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Indonesia. Seluruh sektor baik dari ekonomi, pendidikan hingga kesehatan tidak lepas dari kebutuhan listrik.
Tahukah kalian, saat ini Indonesia masih mengandalkan batubara sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik? Sayangnya penggunaan batubara menghasilkan energi kotor dan menjadi salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia.
Berdasarkan Climate Transparency Report 2020 IESR tahun 2019, sektor energi merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia terbesar kedua yaitu 157 juta ton CO2 atau 27%.
Data ini akan menyadari kita, alih-alih dapat menikmati listrik dengan merasa “sudah bayar kok” ternyata kita turut menyebabkan terjadinya perubahan iklim.
Beberapa hari yang lalu mungkin kamu sempat melihat berita viral yang mengejutkan dari salah satu media. Ya, puncak es Greenland diguyur hujan pertama kalinya pada 14 Agustus 2021 lalu.
Terjadinya hujan ini mengindikasikan bahwa suhu Greenland mengalami kenaikan. Sesuai dengan laporan IPCC yang menyebutkan suhu bumi bisa saja naik sampai 1.5 derajat Celcius dalam 2 dekade ke depan.
Dampak apa sih yang bisa dirugikan kalau suhu bumi bisa naik, meskipun hanya 1 derajat Celcius saja?
Bukan hanya memberikan dampak lingkungan saja, penggunaan bahan bakar batubara sebagai penghasil energi juga memberikan dampak buruk pada kesehatan juga ekonomi.
Dari laporan penelitian Dampak Batubara yang dilakukan oleh Universitas Harvard dan Greenpeace Indonesia tahun 2015, angka kematian dini akibat PLTU Batubara yang sudah beroperasi mencapai 6.500 jiwa/tahun di Indonesia.
Ini dikarenakan hasil pembakaran batubara mengeluarkan polutan yang beracun seperti merkuri, kadmium, arsenik, timbal dan partikel halus. Polutan tersebut menyebabkan gangguan kesehatan seperti stroke, penyakit jantung iskemik, kanker paru, penyakit paru, serta penyakit gangguan pernafasan dan kardiovaskular lainnya.
Tidak hanya itu saja, polutan yang dihasilkan PLTU juga bisa mencemari pertanian, perikanan, tentunya akan menyebabkan kerugian yang besar pada perekonomian masyarakat.
Kerugian besar dari dampak PLTU bukan hanya pada proses pembakaran saja. Proses panjang penggunaan batubara mulai dari penambangan, pencucian, transportasi hingga menghasilkan sumber energi listrik memiliki dampak besar pada masalah lingkungan, sosial hingga ekonomi.
Batubara Tidak Dapat Diperbaharui, Potensinya Bisa Menjadi Aset Terdampar
Batubara merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, sementara seiring meningkatnya jumlah penduduk Indonesia juga meningkatkan permintaan produksi batubara tiap tahunnya.
Sayangnya selama 10 tahun terakhir ini ternyata tidak ada eksplorasi dan ditemukannya cadangan baru yang signifikan.
Apalagi proses pengolahan batubara dari mulai penambahan hingga pembakaran untuk menghasilkan sumber energi menjadi penyumbang emisi gas karbon yang sangat besar.
Tentunya penambangan hingga pembangunan PLTU baru banyak dipertentangkan oleh praktisi, akademisi, hingga masyarakat umum.
Dilansir dari edco.id, produksi batubara mencapai hingga 500 juta ton per tahunnya. Bahkan tahun 2019 lalu produksinya bisa mencapai 600 juta ton. Dengan capaian produksi tersebut, tentunya tidak bisa hanya mengandalkan cadangan batubara mencapai 33 miliar ton.
Perlu kita ketahui juga, dari perhitungan simulasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan asumsi cadangan mencapai 33 miliar ton dan produksi sebesar 500 juta ton, cadangan batubara Indonesia diperkirakan akan habis pada 2096.
Bayangkan saja ketika nanti sepuluh atau dua puluh tahun kedepan ada kebijakan Internasional penghapusan penggunaan batubara. Puluhan Pembangkit Listrik yang menggunakan batubara tentunya akan mangkrak, bahkan terdampar begitu saja.
Berdasarkan laporan terbaru yang dikeluarkan oleh IESR dengan judul “Coal as Stranded Assets: Potential Climate-relate Transition Risk and Its Financial Impacts to Indonesia Banking Sector”, Industri batubara punya potensi besar menjadi aset terdampar seiringan dengan semakin meningkatnya pemanfaatan energi terbarukan.
Waw, ternyata kita tidak bisa terus-menerus bergantung pada batubara. Dari sini-lah sudah seharusnya kita melakukan transisi energi dan mencoba untuk tidak lagi ketergantungan dengan batubara. Bukan lagi dengan membangun PLTU baru dengan tujuan untuk menghasilkan sumber energi lebih besar dan lebih luas tersebar di seluruh Indonesia.
Apalagi Indonesia memiliki kesepakatan global dalam Perjanjian Paris untuk menghadapi perubahan iklim. Indonesia termasuk dalam Nationally Determined Contribution (NDC) periode 2020-2030 untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celcius dan mendorong untuk membatasi kenaikan suhu lebih dari 1,5 derajat Celcius di atas tingkat Industri.
Berdasarkan kajian McGlade dan Ekins dalam Jurnal Nature tahun 2015 menunjukkan bahwa agar kenaikan suhu global tidak melebihi 2 derajat celcius, maka dua pertiga cadangan energi fosil seperti minyak, gas dan batubara tidak boleh dibakar.
Aritnya, agar Indonesia dapat mencapai target Perjanjian Paris tersebut, perlu melakukan transformasi dengan sistem energi bersih 100%. Bagaimana ya jika upaya tersebut lebih cepat masif dilakukan? Yuk, kita menghayal bersama ketika Indonesia menjadi lebih terang dan Hijau sebelum tahun 2050.
Tahun 2050 Akses Listrik Indonesia Lebih Luas
Pembangunan Indonesia hingga saat ini masih belum merata, bukan hanya akses pendidikan saja. Akes listrik nyatanya belum sepenuhnya bisa dinikmati di seluruh wilayah Indonesia.
Kembali ke awal cerita di tulisan ini, tahun 2013 lalu saya sempat merasakan keterbatasan akses listrik di tempat wisata Taman Nasional Baluran. Meskipun masih berada di Pulau Jawa, apalagi dekat dengan PLTU Paiton ternyata akses listrik masih terbatas.
Belum lagi wilayah-wilayah tertentu yang seringkali mengalami listrik padam, atau bahkan tidak sama sekali mendapatkan akses listrik. Sayangnya penyediaan data akses listrik di Indonesia hanya sebatas definisi capaian mendapatkan penerangan, bukan bagaimana peta jalan mendapatkan akses listrik.
Presiden Joko Widodo sempat menyampaikan bahwa 433 desa di empat provinsi yaitu Papua, Papua Barat, Provinsi NTT dan Maluku belum mendapatkan akses listrik. Berdasarkan rasio elektrifikasi menurut Provinsi pada tahun 2020, ternyata masih banyak yang belum mencapai 100%.
Penyediaan akses listrik di Indonesia memang penuh tantangan dan sulit terjangkau, sebab Indonesia memiliki 17.000 pulau dengan kontur tanah dan persebaran penduduk yang beragam.
Sumber: Kementerian ESDM • Visualisasi: Made Anthony Iswara
Data tersebut hanya merupakan rasio daerah yang memiliki sumber penerangan, sedangkan bagaimana akses listrik tersedia merata dan bagaimana akses listrik bisa dimanfaatkan juga perlu dijelaskan. Akibatnya masih banyak masalah akses listrik yang tidak memadai di berbagai wilayah Indonesia.
Seperti kisah yang dilansir dalam Tirto.id, salah satu Guru SDN Kecil Fatutasu di NTT Xavier bercerita bahwa sering mengalami listrik padam hingga empat kali dalam sehari pada saat musim hujan, bahkan saat jam kerja.
Lalu, bagaimana solusinya?
Untuk memperluas akses listrik di Indonesia dan menghubungkan wilayah Barat hingga Timur Indonesia, meningkatkan penggunaan Energi Bahan Terbarukan adalah solusinya.
Batubara atau bahan bakar fosil lainnya bukan satu-satunya jalan akhir. Ada potensi besar dari energi bahan terbarukan yang dimiliki Indonesia, berdasarkan data Outlook Energi Indonesia 2019, terdapat total ekuivalen 442 GW dari energi terbarukan yang bisa digunakan untuk pembangkit listrik.
Sekarang bagaimana komitmen Pemerintah, stakeholder dan masyarakat untuk bersinergi saja memanfaat potensi besar tersebut?
Tahun 2050 Harga Listrik Lebih Murah, Indonesia Lebih Hijau
Untuk mencapai target komitmen perjanjian Paris, berdasarkan laporan IESR yang berjudul “Deep decarbonization of Indonesia’s energy system: A pathway to zero emissions by 2050”, tahun 2030 nanti sebagai penentu bagaimana upaya Indonesia dalam menurunkan emisi GRK.
Indonesia secara teknologi dan ekonomi mampu mencapai nol emisi karbon pada tahun 2050, jika Pemerintah menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara pada tahun 2025, memasang 140 GW energi terbarukan pada tahun 2030, meningkatkan kapasitas transmisi listrik 158 GW dengan energi terbarukan untuk menghubungkan wilayah Indonesia dari barat sampai timur.
Salah satu energi terbarukan yang bisa dimanfaatkan adalah tenaga surya. Indonesia memiliki potensi energi surya mencapai 20.000 GW, kita bisa mulai memanfaatkannya dengan menyerap energi surya dari atap rumah, gedung komersil bahkan dalam skala besar seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Terbayang gak sih, 10 tahun kedepan misalnya, teknologi akan semakin maju dan dimudahkan dengan berbagai macam inovasi elektronik. Seperti dua tahun belakangan ini, inovasi elektronik rumah tangga mulai muncul dan ramai digunakan.
Untuk ibu rumah tangga tentu tidak asing dengan robot pembersih lantai, kasur, sofa, bahkan ada mesin cuci mini portable.
Bukan tidak mungkin, konsumsi atau permintaan listrik pasti akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan teknologi yang semakin maju.
Apa yang kita harapkan? Tentunya biaya listrik yang semakin murah. Perlahan masyarakat akan mulai menyadari, investasi di awal untuk menggunakan teknologi panel surya akan jauh lebih murah dibandingkan hanya mengandalkan listrik dari PLN.
Terbayang gak sih, terdapat perumahan atau desa dengan pemandangan atapnya bukan lagi ditutupi dengan genteng tapi panel surya. Mungkin saja ada inovasi dibidang arsitektur, memanfaatkan fasad depan rumah untuk menyisipkan beberapa panel surya, agar memaksimalkan menyerap energi ketika siang hari.
Selain itu, pemanfaatan panel surya bisa juga digunakan gedung-gedung komersial seperti bangunan Mall, kantor, stasiun kereta api, terminal, bandara, bahkan lapangan parkir.
Jika dibandingkan dengan sumber energi dari bahan fosil batubara, biaya investasi energi bersih terbarukan jauh lebih murah dan menguntungkan.
Dengan regulasi yang baik, contohnya pemanfaatan PLTS atap yang bisa diterapkan oleh masyarakat Indonesia akan memberikan keuntungan lebih baik untuk lingkungan, pemerintah, maupun individu masyarakat.
Kapan lagi bisa menghasilkan listrik sendiri dari rumah? Bahkan selain bisa menjadi konsumen, kita bisa menjadi produsen listrik. Tenang saja, Pemerintah sudah mengatur proses impor-ekspor listrik dalam regulasi Permen ESDM No.49/2018.
Dalam regulasi tersebut, bagi yang memiliki PLTS atap jika memiliki kelebihan listrik bisa disalurkan ke jaringan PLN dengan nilai transaksi 65% dari tarif dasar listrik pelanggan. Nah, gimana nih sudah tertarik dengan energi terbarukan belum?
Selain masih bisa menikmati akses listrik dengan nyaman dan murah, dengan memanfaatkan potensi besar dari tenaga surya ini, bisa terbayangkan kelak anak cucu kita di tahun 2050 masih bisa menikmati keanekaragaman hayati Indonesia masih melimpah seperti Burung Jalak Bali, kualitas udara lebih bersih, ketersediaan air melimpah, dan tingkat kesehatan yang tinggi.
Sumber bahan tulisan :
https://tirto.id/menilik-mimpi-akses-universal-listrik-di-indonesia-f92S